Wednesday 24 February 2016

Imaji Sissy Pussy

Berita itu begitu membuatku terpuruk. Gadis klasik nan cantik itu yang akhirnya berhasil merebut pujaan hatiku. Mas Bagas ku akan segera mempersunting gadis pilihannya. Kecewa memang, tapi sosok seperti ku bisa apa ?.
"Dengan siapa pun aku menikah, kamu tetap kesayanganku, Sissy". Ujarnya menghiburku.
Aku memang selalu bermanja ria dengan Mas Bagas. kemana pun ia pergi, aku selalu menyertainya.
24 jam sepanjang hari, aku habiskan bersamanya. Mas Bagas mencintaiku, begitu pun aku. Lalu kenapa ia tetap memilih gadis itu ?. Fisikly, aku lebih manis, lebih menggemaskan, dan lebih ginuk-ginuk dari nya. Tapi faktanya, Mas Bagas lebih memilih gadis itu. Takdir tetaplah takdir. Kehendak Tuhan lebih berperan di atas keinginan semu hamba-Nya.
Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidup Mas Bagas. Ia akhirnya menikah dengan gadis pilihannya. Dari kejauhan aku memandang pujaan hatiku bersanding mesra dengan permaisurinya. Riuh tamu yang hadir turut serta menebarkan doa dan bahagia untuk keduanya. Pesta pernikahan pujaan hatiku begitu megah. Lain halnya dengan qolbu ku yang begitu gundah.
Dari sudut pelaminan, aku melihat gadis itu berjalan menuju ke arahku. Dia mendekat, tersenyum lalu membisikkan sesuatu, “Hai Sissy. Aku mencintaimu sama halnya dengan Mas Bagas yang juga mencintaimu”. Ujarnya sembari mengusap kepalaku.
Aku tersipu, meski sebenarnya hatiku cemburu. Mas Bagas ku kini harus berbagi waktu dengan gadis itu. Berbagi cinta dan tawanya dengan bidadari nya.
Sekali lagi, aku patah hati. Mungkin hanya sekali, tatkala Bidadari menyambangi pujaan hati. Aku lebih memilih pergi. Meninggalkan hati yang usang. Langkah empat kakiku gontai. Bulu ku nan elok khas Persia beranjak lusuh. Kini aku bebas. Bebas dari cinta yang telah mematahkan hatiku . “Meoooww”!!!

Semarang, 11 Pebruari 2016

Friday 12 February 2016

Halte Van Amorus

Sore ini cuaca begitu syahdu. Irama angin bersorak-sorai mengiringi tenggelamnya senja. Lantunan gemericik air mulai turun menyambangi tuan nya. Halte Van Amorus mulai menyuguhkan atap tepi jalan untuk melindungi Empunya.
Diane flamaria, gadis berjilbab panjang dengan kayuhan sepedanya bergegas menuju halte. Dia mampir sejenak menghindar dari guyuran air yang semakin deras. Di parkirkannya roda duanya itu di tepi halte. Ia membaur bersama orang-orang yang turut berlindung di bawah Amorus.
“Maaf, boleh Tanya ini jam berapa ?”. Tanya laki-laki di sebelah Diane.
Sosok Laki-laki sebaya dengan jenggot panjang serta busana agamis itu membuat Diane tertegun ketika melihatnya.
“Idaman”. Gumam Diane dalam hati.
“Boleh saya tahu ini jam berapa ? jam tangan saya tertinggal di kantor”. Ujar lelaki itu.
“Owh, maaf, sudah Jam lima lebih seperempat”. Kata Diane.
“Terima kasih”. Ujarnya singkat.
Suasana riuh gemericik hujan seakan menambah kekhusukan insan yang berada di sekitarnya.
Gadis itu seakan turut serta merasakan romantisme dadakan yang baru saja menyapanya.
Mungkinkah ini cinta ? Cinta pada pandangan pertama ?.
Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil dari depan Halte.
“Abi” Teriak seorang anak perempuan dari dalam mobil.
Dan tiba-tiba, seorang perempuan berkhimar panjang turun dari mobil dengan membawa payung menuju ke arah lelaki berjenggot itu.
“Maaf, Bi. Umi tadi abis jemput adek”. Kata wanita itu sembari mencium tangan lelaki itu.
Keduanya kemudian masuk menuju mobil dan pergi meninggalkan Halte Van Amorus.
Meninggalkan romantisme sesaat Puan Diane.
Hujan telah reda. Diane kembali mengayuh sepedanya. Meninggalkan jejak cinta ala kadarnya di Halte Van Amorus.
Diane oh Diane. Percayalah. Takdir tidak pernah salah menjatuhkan cintanya pada yang di kehendaki-Nya. Bahkan di tempat tak terduga dan di waktu yang tidak semestinya.


Semarang, 04 Februari 2016.

Alesha Burairah

“Sejatinya cinta hanya untuk mereka yang percaya”

Cinta tak bertuan
Segalamu begitu menakjubkan
Jarak tak berjeda
Rindu tanpa aksara

            Sosok itu masih saja menghantui di setiap ronde kehidupanku. Alif pradana. Pemuda bersarung yang beberapa waktu lalu menghadiri kajian rutin bulanan di pondok pesantren milik Eyang. Karisma Soleh nan bersahaja hanyut dalam dinamika jiwa.
Kehadirannya bagaikan fatamorgana di tengah gurun.
Qurrota a’yyun.

Haramkah rindu ini, Ya Rabb. Lindungi aku dari cinta fana kepada manusia.
Tidak seberapa paham virus jenis apa yang ia sebarkan padaku hingga hidupku jadi kelimpungan seperti ini. Sosoknya yang begitu agamis mampu membuat hamba Allah ini jatuh hati padanya. Ya Allah, jatuh cintakan aku pada calon jodohku saja.

Namaku Alesha Burairah Binti Ilyas. Dokter muda yang bekerja di sebuah Rumah sakit swasta di Jawa Tengah.
Terlepas dari cita-cita masa kecilku menjadi guru , dokter adalah Pilihan kedua orangtuaku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali mengiyakan apa yang mereka titahkan.
Aku adalah putri semata wayang. Aku sangat menyayangi Bapak & Ibu. Bahkan sekedar menolak dan bilang tidak pun,aku tidak sampai hati.

“Ra, bulan depan kan long holiday, rencana kamu mau kemana?”. Tanya Windi, Sahabatku.
“nikah”. Jawabku singkat.
“Hah ? serius ?”.tanya windi heran.

Menikah adalah salah satu impian setiap orang. Terlebih dengan orang yang mempunyai visi serupa. Dua puluh tiga tahun usiaku, dan selama itu pula aku tidak pernah terbersit untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Maksudku, aku sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya pacaran.
Di keluargaku, pacaran adalah hal tabu yang pantang di lakukan oleh anak keturunan mereka.” “Pacaran itu gerbang menuju perzinahan. Memang tidak semua pacaran berakhir dengan zina. Tapi hampir semua zina berawal dari pacaran”. Ujar Bapak.

Bapak seorang lulusan pondok pesantren terkemuka di wilayahnya. Ibuku adalah anak seorang Kyai tempat bapak menimba ilmu dulu. Entah bagaimana ceritanya, Aku bisa berada di sebuah instansi pendidikan yang melenceng jauh dari alur keluargaku. Setidaknya aku bersyukur, terlahir dari sebuah keluarga dengan basic ilmu agama yang kuat.

“Nikah sama siapa ra’ ? hadeeeh. Wake up Aira. karirmu kedepan gimana ? ayolah Aira sayang, nikmati dulu masa-masa muda kita. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga ?” celoteh windi.

Aku hanya tersenyum mendengar celotehan sahabatku itu.
“Kita perempuan, sekolah tinggi bukan hanya untuk jadi karyawan. Tapi untuk menjadi madrasah utama bagi anak-anak kita kelak. Menikah itu ibadah. Kita masih bisa berkarir dan berkarya setelah menikah. Tentunya atas ijin suami.”

“Terus kamu mau nikah sama siapa ? sama pangeran bersarung yang kamu impi-impikan itu ? yang udah berhasil membuatmu jatuh cinta pandangan pertama ? Impossible, Aira”

“Mengenai Pangeran bersarung itu, namanya mas Alif. Dia jama’ah rutin masjid taklim di pesantren Eyangku. Aku hanya sekali bertemu dengannya di tahun lalu. Entah kenapa,
tatapan pertama dan sekali itu membuat aku yakin bahwa kita akan bertemu kembali dalam kondisi yang berbeda. Aku tahu aku Cuma berkhayal. Tapi, dia yang selama ini aku bawa dalam doa. Aku belum pernah merasakan suka terhadap manusia lain sehebat ini. Percaya gak ? Kalau doa bisa merubah segalanya. Aku ingin dia yang jadi Imam ku kelak,win. “

“Astaghfirullah, Ra. Nyebut nyebut. Ati-ati hloh, bisa jadi zina hati. Gini deh, kamu mau gak, aku kenalin sama temenku. Dia ganteng, pinter, soleh, cocok lah sama tipe-tipe kayak kamu ? gimana ? ta’arufan dulu aja, ntar kalo gak sreg bisa retur kok. Hahaha ”

“Apaan sih, win. Pake retur segala, emangnya barang dagangan. Hehehe “.

“Yah lagian kamu nglawak, mau main nikah-nikah aja. Pacaran gak mau, Ta’arufan gak pernah. Eh, bulan depan nyeletuk mau nikah”.

“Aku udah di jodohin sama orang tuaku, Win. Namanya mas said. Cucu dari temennya Eyang. Hari minggu besok dia dan keluarganya mau datang kerumah mau khitbah aku”.
“What ? beneran ? Terus kamu setuju?”

Aku mengangguk pelan.

“Emang udah pernah ketemu orangnya? “

Aku menggeleng.

“Ya Allah, ra’. Terus gimana kalo ternyata dia itu gak baik, jelek, dan yang lebih parahnya udah berisitri. Kan kamu gak tau itu to.”

“Aku percaya pilihan orang tuaku yang terbaik”

“Aduh Ra. Please. Kamu tuh cerdas, pinter, cantik, solehah, dokter muda, karir cemerlang, dan dengan gampangnya mengiyakan gitu aja sama perjodohan itu ?. Open your mind, ra’. Ini bukan lagi jaman siti nurbaya. Ya meskipun udah pasti calon pilihan orang tuamu itu yang terbaik, tapi kamu juga berhak punya pilihan terbaik versi kamu.” Ujar Windi padaku.

Aku tidak pernah tahu seberapa rela dan ikhlas menjalani titah orang tuaku di luar kehendakku untuk ke sekian kalinya. Aku hanya ingin berbakti kepada keduanya. Seperti halnya mereka yang ingin memberikan yang terbaik untukku. Aku percaya,pilihan orang tuaku adalah yang terbaik selama aku bisa membaikan keadaan.

Dulu, Menjadi seorang Dokter bukanlah cita-citaku. Tapi aku berhasil membawa sesuatu yang bukan keinginanku itu menjadi kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarku.
Sekarang, untuk sebuah masa depan yang begitu sakral, aku harus menjatuhkan pilihan itu di tangan orang yang tepat. Bapak, ibu, Eyang, mereka adalah orang terbaik yang Allah kirimkan dalam hidupku. Mereka tidak pernah menjamin kebahagian untukku. Tapi mereka selalu menghadirkan kebahagiaan itu.
            Tentang sebuah rasa yang pernah ada, maaf karna tanpa permisi aku telah menghadirkanmu dalam cerita hidupku. Bukan tanpa alasan engkau menjadi tokoh utama dalam setiap alur dramaku. Tapi Skenario Tuhan berkendak lain. Ada tokoh lain yang harus menggantikan posisimu. Dia adalah pilihan terbaik dari apa yang telah di skenariokan oleh-Nya. Percayalah, Cinta sejati akan selalu ada selama kita percaya. Percaya pada ketentuan-Nya. Percaya pada apa yang telah di gariskan-Nya. Dan aku percaya itu.

Minggu sore, seluruh rombongan keluarga Bpk. Abdul ayyub tiba di rumah. Keringat dingin bercampur panik mengucur deras di tubuhku. Mas said, Laki-laki pilihan orang tuaku. sosok yang belum pernah ku temui sebelumnya. Sosok yang luput dari bayangan seorang gadis sepertiku, Akan menjadi Imam ku kelak. Menyempurnakan separuh agamaku. Lalu bagaimana dengan cinta dalam diamku. Sosok yang selalu aku semogakan di setiap penghujung doaku. Haruskan aku melupakannya begitu saja ?.

Aku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Di sana di penuhi sanak keluarga.
Aku duduk di sebelah Eyang, “sini nduk, kenalkan ini keluarga pakde ayyub dan ini Said, calon suamimu”

Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok mas said yang Eyang ceritakan adalah laki-laki yang pernah bertemu denganku satu tahun silam di pesantren itu.

“Kamu sudah pernah bertemu  dengannya, kan ? Alif Said Pradana Bin Abdul Ayyub. Cucu Kyai Soleh yang pernah berkunjung ke pesantren ini satu tahun yang lalu. Said ini baru saja menyelesaikan gelar masternya di Singapura.” Ujar Eyang sambil tersenyum.

Ma sha Allah.
Aku tersipu malu mendengar nama itu. Nama yang selalu akau aminkan. Dia yang selalu aku semogakan.
Mimpikah aku ?. Skenario-Mu begitu indah Ya Rabb.

Bakti ku kepada orang tuaku, mengantarkanku pada kebahagianku.
Cinta dalam diamku, kini akan menjadi cinta sejatiku.
Dan aku, Percaya itu.